Prof. Dr. Johan S. Masjhur, dr., SpPD-KEMD., SpKN., “Kedokteran Nuklir di Indonesia Masih Berjalan Lambat”

Dekan FK Unpad (kiri) menyerahkan kenang-kenangan kepada Prof. Dr. Johan S. Masjhur, dr., SpPD-KEMD., SpKN yang memasuki masa purnabakti (Foto: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id,26/04/2013] Guru Besar ahli Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran (FK) Unpad, Prof. Dr. Johan S. Masjhur, dr., SpPD-KEMD., SpKN., memberikan kuliah purnabakti bertajuk “Kedokteran Nuklir dan Kedokteran Molekuler”, Kamis (25/04) kemarin di Auditorium Rumah Sakit Pendidikan (RSP) Unpad, Jalan Eijckman No. 38, Bandung.

Dekan FK Unpad (kiri) menyerahkan kenang-kenangan kepada Prof. Dr. Johan S. Masjhur, dr., SpPD-KEMD., SpKN yang memasuki masa purnabakti (Foto: Tedi Yusup)*

Dalam kuliahnya, Prof. Johan memaparkan, kedokteran nuklir merupakan cabang ilmu kedokteran yang dihasilkan dari hasil pemikiran dan temuan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, seperti biologi, fisika, kimia, farmasi, teknik rekayasa dan mikroelektronika serta ilmu kedokteran itu sendiri.

“Melalui kedokteran nuklir, dapat dievaluasi suatu penyakit pada tingkat molekul, memprediksi jalannya penyakit, membantu merancang pengobatan yang spesifik, memantau khasiatnya, serta melakukan penyesuaian apabila pengobatan tersebut tidak efektif,” ujarnya.

Diawali dengan penemuan radionuklida buatan pertama pada tahun 1934, kedokteran nuklir terus berkembang sampat saat ini. Perkembangan pada saat ini ialah ditemukannya kamera hibrida seperti SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) dan PET (Positron Emission Tomography) yang kini direkayasa menjadi SPECT/CT dan PET/CT guna pencitraan molekuler dan diagnosis suatu penyakit.

“Pencitraan molekuler bertujuan untuk mempelajari perbuahan molekuler di dalam sel, jaringan organ, dan seluruh bagian tubuh dari maksluk hidup, termasuk mendeteksi dan mengukur tingkat mRNA, protein, enzim, dan interaksi protein-protein,” ujar guru besar kelahiran Payakumbuh, 28 Februari 1942 tersebut.

Di Indonesia sendiri, pelayanan kedokteran nuklir dimulai sejak tahun 1965, tidak lama setelah reaktor atom pertama diresmikan oleh Presiden Soekarno. Namun, perkembangan sendiri sangat lambat. Menurut Prof. Johan, ada beberapa faktor mengapa perkembangan kedokteran nukli di Indonesia berjalan lambat.

Hal pertama yaitu adanya fobia dan mispersepsi terhadap kedokteran nuklir. Fobia terhadap kedokteran nuklir ditandai dengan anggap bahwa nuklir sangat berbahaya bagi kehidupan. Padahal, radiasi yang digunakan dalam teknologi kedokteran berasal dari radionuklida buatan, dan sifatnya sangat kecil.

“Radiasi tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil dari pengobatan radiologi atau terapi radiasi eksternal yang telah puluhan tahun dijalani manusia,” ujar guru besar yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Senat Unpad periode 2007-2011 tersebut.

Hal kedua ialah besarnya investasi untuk penyediaan alat-alat kedokteran nuklir.Saat ini Indonesia masih dihadapkan pada masalah kesehatan dasar, seperti penyakit akibat gizi buruk, penyakit infeksi, serta masalah kesehatan ibu dan anak. Masalah tersebut tentunya menjadi prioritas pelayanan kesehatan di Indonesia.

Hal terakhir ialah rendahnya minat para dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk mendalami bidang kedokteran nuklir. Menurut Prof. Johan, secara finansial kedokteran nuklir belum menjanjikan jika dibanding dengan spesialisasi kedokteran lainnya. “Meskipun kedokteran nuklir di Indonesia masih dipandang kecil, kita harus tetap fokus,” ujar Prof. Johan.

Dalam kesempatan tersebut, Dekan FK Unpad Prof.Dr.med.Tri Hanggono Achmad, dr., memberikan buku biografi Prof. Johan sebagai apresiasi dari apa yang telah Prof. Johan sumbangkan untuk kemajuan Unpad, khususnya FK Unpad.*

Laporan oleh Maulana / eh *

Share this: