Memahami Konflik Pilkada dalam Drama Sunda “Satru”

Salah satu adegan Drama Sunda "Satru" yang dipentaskan di Grha Sanusi Hardjadinata, Unpad, Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, Minggu (28/10). (Foto: Tedi Yusup)

[Unpad.ac.id, 28/10/2012] Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) sebagai sebuah pesta demokrasi memang selalu menyuguhkan cerita-cerita menarik dan cukup unik. Berbagai macam intrik yang tak sedikit pula menjurus pada konflik selalu menghiasi pelaksanaan pilkada di negeri ini.

Salah satu adegan Drama Sunda “Satru” yang dipentaskan di Grha Sanusi Hardjadinata, Unpad, Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, Minggu (28/10). (Foto: Tedi Yusup)

Hal tersebut yang coba dituangkan di Drama Sunda “Satru” dalam Pidangan Seni Budaya Rumawat Padjadjaran ke-54 yang mengambil tempat di Aula Grha Sanusi Hardjadinata, kampus Unpad Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Minggu (28/10). Naskah “Satru” ini ditulis oleh Nunu Nazaruddin Azhar dan disutradarai oleh Gusjur Mahesa.

“Satru” yang jika diartikan kedalam bahasa Indonesia bermakna musuh bercerita mengenai sebuah perayaan demokrasi di sebuah desa bernama Sukadana. Dikisahkan pemilihan kuwu antara Drs. Karyana dan Raden Suminta sebagai calon incumbent di desa tersebut dipenuhi oleh suasana yang sarat akan permusuhan.

Keduanya memiliki peran yang antagonis dalam cerita tersebut, dimana mereka saling menjatuhkan lawan dengan bertindak licik, egois, dan seolah dirinya yang paling benar. Seluruh tokoh dalam pementasan drama tersebut juga mampu memainkan perannya masing-masing, sebut saja para tim sukses yang memanfaatkan hasrat ingin menang kedua calon kuwu tersebut demi kepentingannya sendiri.

Pilkada, diibaratkan sebagai sebuah tragedi dimana para kandidat berkelahi memperebutkan kekuasaan dengan segala daya upaya yang mereka miliki. Selain itu, pilkada juga dianggap hanya sebuah komedi belaka kala cara dan metode kandidat berkampanye terihat cukup lucu.

Disisi lain, dalam pementasan tersebut diceritakan pula bagaimana reaksi masyarakat dalam suasana pilkada tersebut. Rakyat yang gamang namun tetap menikmati pesta yang sesungguhnya milik mereka tersebut. Rakyat yang sudah sangat senang apabila urusan sandang, pangan, papan, serta sedikit “amplop” berhasil mereka dapatkan dari pelaksanaan pilkada.

 

“Satru” juga mencoba menggabungkan pertunjukan teater rakyat dengan teori-teori teater barat. Teater rakyat yang kental dengan santai, spontanitas, serta imajinatif. Tak sedikit pula guyonan-guyonan khas Sunda ditampilkan dalam pementasan tersebut yang tak pelak mengundang gelak tawa para penonton kala itu. Sementara itu, teater barat dihadirkan dengan cara yang modern berdasarkan filosofi efektif dan efisien yaitu durasi pendek, alur yang ketat, dan tata panggung atau visualisasi panggung yang memanjakan mata.

Diakhir, “Satru” berhasil memberikan sebuah hasil yang menyenangkan. Konflik pemilihan kuwu bisa terselesaikan oleh kedua anak calon kuwu tersebut yaitu Rahmat dan Dini yang saling jatuh cinta. Mereka sebagai generasi muda tak mau lagi menerima warisan konflik yang terjadi turun temurun diantara kedua keluarga dan berusaha untuk menghentikannya. Kedua anak muda tersebut berpendapat bahwa konflik apapun bisa diselesaikan dengan cinta dan kasih sayang.

Drama Sunda “Satru” ini dipentaskan oleh Teater Tarian Mahesa yang dipimpin oleh Gusjur Mahesa  dengan para pemain diantaranya, Agung Purnama Putra, Imam Faisal Uslan, Lela Siti Nurlaela, Farid Shobri, Sarah Meidina, Hasan Ibnu Saifuddin, Agiel Purnama, Sofyan Widianto, Dimas Setia, Jajang Winarya dan Ratna M. Iwan. Drama yang digelar dalam dua sesi yaitu pukul 15.30-17.30 WIB dan 19.30-21.30 WIB tersebut ramai ditonton oleh para penikmat drama Sunda dari Bandung dan sekitarnya.*

Laporan oleh: Indra Nugraha/mar

Share this: